Oleh : Syafrudin ST, MT
Tatanan kehidupan pada masa lampau sebelum adanya pengaruh Hindu-Budha lalu masuk agama Islam, masyarakat Dompu di Hu,u dipengaruhi oleh kepercayaan animisme yang menyembah pada arwah leluhur atau parafu yang diaktualisasikan dalam proses daur hidup, berupa proses kelahiran, sunatan/khitanan, pernikahan dan kematian.
Masing-masing daur hidup tersebut memiliki spesifikasi penggunaan tempat, ruang, bahan dan sarana pendukung, kelengkapan, ritual serta pelaku/pelaksana sendiri, yang memiliki nilai dan falsafah tersendiri dengan unsur kearifan lokal di dalamnya dan secara langsung menjadi norma dan aturan yang di yakini, dijalakan, ditaati dan diwariskan oleh masyarakat secara turun temurun.
Salah satu rangkaian upacara atau tradisi yang berkembang adalah ritual persembahan pada arwah nenek moyang, yang dilakukan pada beberapa lokasi atau tempat tertentu, yang diyakini didiami oleh arwah nenek moyang, dengan menggunakan media atau alat tertentu dan khusus, serta dilengkapi dengan beberapa bahan pendukung seperti bahan makanan, hasil bumi, dan sebagainya. Oleh masyarakat Hu’u Dompu pada masa Ncuhi ini, ritual persembahan ini di kenal dengan Toho ra Dore.
Ritual toho ra dore biasanya salah satunya dilakukan di atas batu besar atau dilakukan di atas batu yang telah di pahat dan dibentuk khusus, biasanya di lubangi dalam ukuran dan tertentu. Lubang-lubang yang telah di pahat atau dibentuk tersebut akan di jadikan ruang untuk meletakkan persebahan bagi arwah nenek moyang atau parafu.
Persembahan pada ritual ini biasanya berupa bahan makanan seperti ayam jantan dan betina, telur ayam, pisang hijau, nasi empat warna serta beberapa rempah-rempah, kemudian di letakkan di atas batu, bisa juga dalam pahatan batu yang terdiri atas beberapa lubang teratur, atau diletakkan di sekitar batu tersebut.
Selain ritual toho ra dore, beberapa kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan pada masa itu hingga saat ini adalah menyediakan bahan makanan yang sudah diolah, rempah-rempah serta hasil alam lainnya yang dikenal dengan Soji ra Sangga atau sesajen.
Soji ra sangga ini, adalah kelengkapan yang harus disediakan pada beberapa kegiatan dan tradisi masyarakat, seperti pada saat acara salama loko ra kiri loko atau tujuh bulan ibu hamil, nggana ra nggini atau kelahiran, serta suna ra ndoso atau sunatan dan khitanan.
Beberapa kelengkapan soji ra sangga yang disediakan pada beberapa acara tersebut antara lain adalah; uma dobu (rumah-rumahan dari batang tebu), ni’u satunde (kelapa serangkai), u’a satunde (pinang serangkai), nahi satako (sirih setangkai), pangaha bunga (kue yang diolah dari beras yang ditumbuk, dibentuk menjadi kelopak bunga terdiri dari dua belas macam), oha monca (nasi berwarna kuning yang di olah dari campuran beras dan kunyit), oha me’e (nasi hitam dari ketan hitam), oha bura (nasi putih) serta oha kala (nasi merah) dan fare sakapi (padi seikat yang masih ada tangkai dan bulirnya, biasanya seukuran genggaman tangan, diletakkan dalam bakul) (Sjamsuddin, 2014).
Kelengkapan dari soji ra sangga biasanya juga diwadahi dengan pingga ra piri (perlengkapan makan) dan roa ra tabe (perlengkapan masak). Perlengkapan makan dari keramik di temukan di beberap lakasi di situs So La Nggodu Doro Manto.
Hasil identifikasi oleh Tim Arkeologi mengidentifikasikan temuan pecahan keramik asing di situs ini diyakini limbah dari peralatan rumah tangga masyarakat untuk keperluan tertentu, dengan berbagai bentuk wadah seperti mangkuk, piring, cepuk dan buli-buli. Hasil analisis terhadap pecahan keramik, berasal dari Cina Dinasti Yuang-Ming abad ke-13 sampai 14 Masehi, dan Cing abad ke-17 samapi 19 Masehi (Bagus, 2014 89-98).
Mengacu pada pada temuan di atas, kehadiran keramik asing di situs So La Nggodu Doro Manto sangat mungkin merupakan hasil interaksi dengan pedagang-pedagang asing, mengingat saat itu masayarakatnya banyak yang bercocok tanam, dan hasil pertaniannya, termasuk keberadaan beberapa rempah-rempah seperti kunyit, temulawak, jahe dan beberapa rempah lainnya ditukar dengan keramik. (Bersambung …)
84 total views, 2 views today